Kehilangan dan Kenangan
Arti sebuah kehilangan bagi seseorang yang bukan siapa-siapa ini ternyata begitu berpengaruh dalam hidupku. Kehilangan bagiku adalah sebuah situasi yang membuatku belajar arti sebuah keikhlasan dan merelakan. Membuatku memahami makna kekecewaan. Bagaimana aku harus menanggung yang namanya beban. Hingga terkadang aku perlu sebuah penguatan.
Kehilangan membuatku merasa diuji. Terlebih saat aku menyatakan diri menjadi pribadi yang lebih baik lagi, menjadi pribadi yang lebih taat akan ketentuan illahi. Maka jika pada suatu kesempatan, kesabaran dan keikhlasanku diuji dengan sebuah kehilangan atas sesuatu yang begitu berarti, mungkin itu saat bagiku untuk mengharap ridho illahi.
Kehilangan bagiku adalah sebuah cerita. Yang mana di dalamnya ada begitu banyak rasa. Rasa suka yang berubah kecewa. Rasa memiliki yang berubah sakit hati. Rasa senang yang tiba-tiba hilang. Dan entah rasa lain yang berganti sepi. Dan kehilangan bagiku adalah bagian dari kehidupan.
Lantas, apa kaitannya dengan kenangan?
Bagiku kehilangan dan kenangan adalah dua hal yang memiliki kaitan erat. Kehilangan dan kenangan, mereka hanya dibedakan oleh kata hilang dan kenang. Artinya, sesuatu yang telah hilang itu hanya bisa dan cukup untuk dikenang.
Kenangan ada karena kita kehilangan. Entah kehilangan apapun itu. Dan kehilangan ada karena kita merasa memiliki. Tidakkah sebenarnya kita salah? Bukankah seharusnya dari awal kita tidak perlu merasa memiliki sesuatu? Sehingga kita tidak merasa kehilangan atas sesuatu?
Ada sebuah tulisan yang membuatku merasa aku terlalu tamak. Bagaimana tidak? Aku merasa aku telah memiliki sesuatu dan merasa kehilangan saat sesuatu itu bukan lagi menjadi milikku.
"Wahai laut yang temaram. Apalah arti memiliki jika diri kami sendiri pun bukanlah milik kami?
Wahai laut yang lengang? Apalah arti kehilangan, Ketika sebenarnya kami menemukan saat kehilangan, dan sebaliknya kehilangan banyak pula saat menemukan.
Wahai laut yang sunyi, apalah arti cinta? Ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami tertunduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apa pun?
Wahai laut yang gelap, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja." (Tere Liye – Rindu: 495)
Komentar
Posting Komentar